Minggu, 07 Juni 2009

Pertamina "Buldoser" Sawah

Pertamina "Buldoser" Sawah

BULDOSER menggerus sawah yang sedang penuh dengan tanaman padi. Para petani penggarap protes akibat tanaman mereka tidak mendapatkan ganti rugi. Sementara Pertamina dan pemerintahan lokal menunjuk pemilik tanah yang semestinya bertanggung jawab.* Deni Bratha

Soal Ganti Rugi Kisruh Karena Penggarap Merasa tidak Menerima

POTENSI migas yang terkandung di bumi Kabupaten Bekasi ternyata membawa mimpi buruk bagi ratusan petani penggarap. Pasalnya, sebagian besar sumber-sumber minyak tersebut berada di areal persawahan produktif mereka. Ratusan petani penggarap terancam akan kehilangan sumber mata pencahariannya akibat lahannya disulap jadi ladang minyak. Jika tidak diantisipasi, dikhawatirkan pembebasan lahan untuk eksplorasi akan menimbulkan gejolak sosial.

Berbarengan dengan survei seismik yang sedang dilakukan di 121 titik potensi migas, PT Pertamina juga tengah melakukan pembebasan lahan untuk membuka sumur pengeboran baru. Salah satunya adalah lahan seluas 8,2 hektare, di Blok Tambun V, yang terletak di antara Desa Buni Bhakti Kecamatan Babelan dan Desa Samudra Jaya Kecamatan Taruma Jaya, Kabupaten Bekasi. Namun, proses pembuatan kilang baru tersebut terkendala pembebasan lahan.

Persoalan yang muncul karena PT Pertamina hanya melakukan ganti rugi kepada pemilik lahan. Sedangkan di atas lahan tersebut masih ditanami padi oleh petani penggarap. Lima orang petani pengarap melakukan aksi penolakan terhadap penggusuran yang dilakukan oleh PT Pertamina karena dianggap merugikan mereka.

Para petani beralasan, selama ini mereka tidak pernah mendapatkan secarik surat pemberitahuan pun tentang penggusuran, baik oleh pemilik lahan, PT Pertamina maupun aparat desa.

"Tanah dibayar tetapi padi yang baru ditanam belum diganti. Sekarang sudah dibuldoser paksa," kata Markim Mahesa, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Buni Bhakti yang menjadi kuasa para petani penggarap kepada "PR", Jumat (17/04).

Menurut Markim, para petani penggarap mengalami kerugian yang cukup besar. Untuk biaya sewa lahan saja sebesar Rp. 2.500.000,00 per musim tanam. Belum termasuk bibit padi dan upah kerja yang mencapai Rp 18 juta. Kini mereka harus kehilangan semuanya, termasuk harapan untuk memanen padi ketika menguning kelak. "Anak istri mereka mau makan apa, selama ini sawah menjadi tumpuan hidup," ujar Markim.

Sebagai ketua BPD, Markim sudah berusaha untuk mempertemukan pihak petani penggarap, pemilik lahan dan PT Pertamina untuk menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan. Namun, pihak Pertamina dan pemilik lahan tidak pernah hadir. Ironisnya, yang terjadi adalah penekanan oleh pihak yang mengatasnamakan perwakilan Pertamina yaitu pada proses mediasi dan penggusuran.

Menurut Markim, saat proses mediasi, warga didatangi orang-orang yang mengaku suruhan dari Pertamina dan menekan warga agar tidak "macam-macam". Tindakan ini terulang saat proses penggusuran, Pertamina mengerahkan pengamanan yang berlebihan dengan menyertakan sekitar 40 orang lebih satpam dan polisi dalam jumlah banyak di lahan yang sedang dibuldoser. "Masa menghadapi petani yang lima orang saja, sampai mengerahkan satpam puluhan orang," kata Markim, dengan nada kesal.

Lebih teliti

Lebih lanjut Markim mengatakan, sikap yang ditunjukkan Pertamina adalah sebuah bentuk arogansi. Seharusnya BUMN itu lebih bijak dan lebih teliti dalam melakukan pembebasan tanah. Menurutnya kejadian pembebasan lahan di Bekasi yang dilakukan Pertamina bukan yang pertama, tetapi sudah sering dilakukan.

Masalahnya lanjut Mustakim adalah Pertamina selalu tidak teliti dalam proses pendalaman kepemilikan dan pembayaran. Menurut dia, kebanyakan pemilik tanah di Bekasi, khususnya di Babelan adalah orang-orang yang berada di luar Bekasi. "Semua pemiliknya adalah warga Jakarta," katanya.

Selain itu, Pertamina tidak memiliki pagu yang jelas atas tanah yang akan dibebaskan. "Ke depan, akan banyak lahan yang dibebaskan, ini bukan sekadar masalah tanaman tapi menyangkut hajat hidup orang banyak," ujar Markim.

Dihubungi terpisah, pihak PT Pertamina justru memberikan keterangan berbeda dari penuturan warga. Asep Sulaiman, Legal Officer Pertamina EP Cirebon Region Java mengaku proses pengukuran telah dilakukan pada Februari dan pembayaran pun sudah dilakukan sesuai perjanjian sebulan setelah pengukuran (Maret-red). Pembayaran itu senilai Rp 79.000,00 per meter untuk tanah dan isi di atasnya, dengan potongan pajak sebanyak Rp 4.000,00.

"Jadi kalau mau minta ganti rugi jangan ke PT Pertamina, tapi ke pemilik lahan," kilah Asep. Ia malah merasa heran dengan tindakan para petani penggarap. Pada saat PT Pertamina melakukan proses pengukuran di bulan Februari, lahan tersebut belum ditanami. Pihaknya juga sudah mengingatkan pemilik lahan agar memberitahukan kepada petani penggarap agar tidak tanam. "Tapi begitu lahannya mau kita pakai, kok ada tanaman padi. Ini ada apa?" kata Asep.

Asep mengatakan bahwa pihak PT Pertamina juga sudah melakukan itikad baik, yakni mempertemukan pemilik lahan dan petani penggarap. Namun, menurut Asep, justru para petani penggarap yang tidak datang dalam pertemuan tersebut.

Sementara pendapat Ibnu, Kepala Desa Samudra Jaya Kecamatan Taruma Jaya mengatakan, tanggung jawab ada di tangan pemilik lahan, bukan di Pertamina. Karena menurut Ibnu bahwa Pertamina sudah membayar kepada pemilik tanah secara penuh, pembayaran tanah dan isinya. Pasalnya pemilik tanah itu bukan orang yang tinggal di Bekasi, tetapi semuanya tinggal di Jakarta.

Dari kasus tanah petani penggarap ini, terkesan adanya saling lempar tanggung jawab antara pihak berwenang. Pertamina mengaku sudah melunasi, sementara pihak pemerintahan yang seharusnya berada di belakang warga, malah melempar persoalan bahwa petani penggarap itu salah sasaran meminta tanggung jawab kepada Pertamina.

Menanggapi hal tersebut, Hilalludin Yusri, Sekretaris Karang Taruna Kabupaten Bekasi mengatakan, bahwa ke depan PT Pertamina harus bisa lebih jeli dalam melakukan pembebasan lahan agar tidak terjadi masalah serupa. Hilal juga menambahkan, pihak PT. Pertamina dan Pemda seharusnya memikirkan tentang nasib para petani yang tanahnya dijadikan ladang minyak. "Harus dipikirkan solusinya, jangan sampai menjadi masalah sosial baru," ungkap Hilal. (JU-16)***

Sumber dari : http://newspaper.pikiran-rakyat.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di Blog Griya Asri 2

Terima kasih atas kunjungan Anda ke blog ini.

MEDIA-OI

MEDIA-OI
Panjat Pinang